Sains- Tahukah ANDA bahwa sains tidak bisa dipisahkan dari islam, karena biar meski bagaimanapun, perkembangan sains saat ini tak lepas dari peran islam yang terus mendukung sains. bahwa sejarah mencatat bahwa Hampir seluruh cabang ilmu sains dipelopori oleh muslim.
oleh Fahmi Amhar
Science (from Latin scientia, meaning
“knowledge”) is a systematic enterprise that builds and organizes
knowledge in the form of testable explanations and predictions about the
universe.
Sains didefinisikan sebagai sebuah usaha yang sistematis untuk
membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam sebuah bentuk
penjelasan atau prediksi yang bisa diuji tentang alam semesta.
Sebagian sains sudah ada sejak sebelum Islam datang. Sains tentang
panjang sisi miring sebuah segi tiga siku-siku sudah ditemukan
Phytagoras, matematikawan Yunani (wafat 495 SM). Sains tentang hidrolika
sudah ditemukan Archimedes (wafat 212 SM). Sains tentang Astronomi
sudah ditulis oleh Ptolemeus (wafat 168 SM). Sains tentang banyak hal
dicoba dirumuskan oleh Aristoteles (wafat 322 SM).
Beberapa jenis sains ini masih dicampuri berbagai mitos, filsafat,
kecenderungan spiritual tertentu, aksioma yang tidak berdasar, atau
harapan-harapan palsu. Astronomi masih dicampuri dengan ramalan nasib,
dan ilmu kimia masih dicampuri dengan pembuatan ramuan sihir.
Ketika Islam datang, Islam memberikan sejumlah hal, yang kemudian
generasi selanjutnya mereview hubungan antara iman-Islam dengan sains.
Dalam perkembangannya, teramati ada lima macam paradigma hubungan Islam
& Sains.
1. SAINS – ISLAM
Adalah Rasulullah sendiri yang ditunjukkan dalam hadits tentang kasus
penyerbukan kurma, yang menunjukkan bahwa urusan sains & teknologi
adalah “urusan kalian”. Nabi datang dengan membawa wahyu adalah untuk
mengatur pandangan, sikap atau perilaku manusia yang tidak bisa
ditemukannya sendiri dengan sains. Qur’an bicara hal-hal ghaib tentang
masa lalu yang sangat jauh saat penciptaan bumi & langit, saat
penciptaan manusia, atau masa depan yang juga sangat jauh, saat bumi
& langit digulung lalu semuanya dibangkitkan kembali untuk
menghadapi pengadilan. Ini adalah hal-hal yang tidak mungkin diuji
dengan sains, tetapi hanya dapat diketahui dari kabar di dalam Qur’an.
“When the science end, begin the faith”. Islam memberikan kepada
manusia berberapa norma perilaku yang halal dan haram, bukan atas dasar
pembuktian sains, tetapi atas dasar kepatuhan kepada Tuhan selaku
pencipta manusia. Bahwa di balik halal – haram itu bakal ada hikmah
pada jangka panjang, bisa saja, tetapi itu bukan dasar
diberlakukannya norma tersebut. Seorang muslim mematuhi norma itu
karena keimanannya, bahwa Allah yang Maha Tahu, pasti tidak akan
memberikan perintah yang tidak memberikan manfaat pada jangka panjang,
sekalipun kita belum tahu secara saintifik.
Karena itu, para ilmuwan generasi salaf, menjadikan Islam sebagai
motivator mereka mencari ilmu – bahkan sampai ke Cina, atau inspirator
dalam menggali objek-objek yang hanya disinggung selintas di dalam
Qur’an. Mereka mendalami astronomi berawal dari buku Almagest karya
Ptolemeus, lalu dikembangkannya sendiri dengan membangun banyak
observatorium, karena dorongan ayat surat Al-Ghasiyah “Apakah mereka
tidak memperhatikan, bagaimana langit ditinggikan?”. Mereka menjadikan
syariat Islam sebagai pagar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh selama mencari ilmu itu. Maka mereka yakin bahwa ilmu sihir tidak
boleh dipelajari, meski ada rasa ingin tahu yang besar, karena ilmu itu
menuntut dipelajari dengan praktikum yang melanggar syariat dan penuh
kesyirikan. Dan mereka juga menjadikan Islam sebagai arah bagaimana
ilmu itu diamalkan. Para ilmuwan muslim selalu berusaha keras agar
setiap rumus hukum alam yang mereka temukan, atau setiap senyawa kimia
yang berhasil direkayasa, dapat menjadi berkah dan investasi pahala yang
mengalir terus meski ditinggal mati. Sains dan teknologi tidak
dikembangkan untuk menjajah manusia, tetapi untuk menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Inilah hubungan model SAINS – ISLAM ala Ibnu Sina,
Al-Biruni, Ibnu al-Haitsam, Muhammad al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan
sebagainya.
2. ISLAMISASI SAINS
Pola islamisasi sains sebenarnya baru muncul abad 20, ketika dunia
Islam sudah tidak lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis
handal kelas dunia. Islamisasi Sains berusaha menjadikan
penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat,
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam. Misalnya,
penemuan ultrasonografi yang dapat melihat proses terbentuknya janin di
dalam perut, atau penemuan kecepatan cahaya, diklaim sebagai telah
disebutkan di dalam Qur’an, sehingga diharapkan makin mempertebal iman
seorang muslim bahwa Qur’an telah mendahului sains, karena diturunkan
oleh Allah Yang Maha Tahu. Inilah hubungan yang dikembangkan banyak
muslim saat ini, dan yang menonjol adalah Harun Yahya. Hubungan ini
mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar
menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan
(othak-athik-gathuk), karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak
berpikir ke sana, dan hubungan ini belum berhasil mendorong kreatifitas
muslim dalam meneliti atau mendapatkan fakta sains baru. Hubungan ini
juga bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata
di masa depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau
model analisis yang baru.
Di luar paradigma ini ada usaha-usaha untuk “menggantikan”
asumsi-asumsi dasar yang ada pada “sains-sekuler” saat ini dengan
Islam. Misalnya mengganti “teori-kekekalan-massa-energi” di fisika,
dengan alasan yang kekal hanya Allah. Tetapi sebenarnya penggantian
asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri, karena yang dimaksud
“kekekalan massa-energi” dalam fisika adalah “kekekalan pada skala
laboratorium”. Fisika tidak membahas dunia di saat penciptaan ataupun
di saat kiamat nanti, karena tidak bisa diuji. Kita memang
mengasumsikan bahwa hukum-hukum fisika yang kita kenal itu berlaku di
seluruh jagad raya dan kapanpun. Mengapa? Karena kita tidak bisa
mendapatkan hukum-hukum fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita
hadirkan untuk diuji. Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan Allah
(sebagaimana keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya
(seperti keyakinan seorang atheis), tidak akan berpengeraruh pada
rumusan hubungan antar fenomena alam semesta di dalam sains itu sendiri.
3. SAINTIFIKASI ISLAM
Saintifikasi Islam juga baru muncul abad-20. Idenya adalah bagaimana
agar perintah-perintah Islam dapat dipahami secara ilmiah. Misalnya
bahwa tata cara sholat memang akan menghasilkan dampak positif secara
fisiologis/psikologis, atau bahwa penerapan mata uang tunggal berupa
dinar-emas/dirham-perak akan menghasilkan kondisi ekonomi yang terbaik.
Contoh ilmuwan yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini
adalah Prof. Dadang Hawari. Beliau melakukan riset yang mendalam dengan
alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga
mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin
melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa. Secara umum sebagai
upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah saja, dan juga diakui
sebagai aktivitas saintifik. Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak
akan menambah atau mengurangi norma perintah/larangan yang diberikan
oleh Islam. Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak produktif pada
aspek-aspek yang didiamkan (tidak diatur secara tegas) oleh agama.
4. SAINS TA’WILI
Sains Ta’wili juga baru mengalami “kebangkitan” di abad-20.
Bentuknya adalah menggali ayat-ayat Qur’an atau hadits Nabi, lalu
mencoba membuat postulat yang dianggap ilmiah, dengan mengabaikan uji
teori secara empiris atau eksperimen. Contohnya adalah, ketika ada ayat
tentang “Matahari beredar …” lalu “Bulan dan Bintang beredar …”, sedang
tidak ada ayat yang berbunyi bahwa “Bumi beredar …”, maka mereka
berkesimpulan bahwa pastilah Bumi ini pusat alam semesta. Kesimpulan
ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta keras yang menjadi dasar
teknologi ruang angkasa saat ini. Tetapi para penganut sains ta’wili
bersikukuh bahwa “Qur’an lah yang benar”. Mereka mengabaikan kenyataan
bahwa pendapat mereka itu hanyalah ta’wil, bukan Qur’an itu sendiri.
Banyak hal yang tidak disebutkan di dalam Qur’an, dan itu tidak berarti
tidak ada atau tidak akan pernah ada. Existensi es di kutub-kutub bumi
tidak disebutkan di dalam Qur’an, tetapi faktanya kan ada. Demikian
juga bahwa suatu ketika mahluk hidup bisa dikembangbiakkan dengan teknik
“cloning”, itu tidak berarti melawan ayat suci, karena sebenarnya
Qur’an tidak pernah membicarakan hal itu. Sementara itu, di sisi sains
juga banyak juga teori yang sebenarnya juga hanya ta’wil, bukan sains
itu sendiri. Charles Darwin sebenarnya hanya mendapatkan fosil-fosil
yang berbeda-beda dengan usia berbeda-beda, sehingga dia menyimpulkan
adanya evolusi. Tetapi bahwa evolusi itu akan mengantarkan monyet
menjadi manusia, tentu itu adalah ta’wil, karena tidak mungkin ada uji
experimen untuk evolusi manusia. Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama
(ratusan ribu tahun). Di dunia Kristen, sains ta’wili atas Bibel
mengantarkan mereka untuk menghukum para ilmuwan seperti Galileo atau
Copernicus karena dianggap melawan ajaran gereja. Di dunia Islam, hal
yang sama terulang sejak abad-20, ketika beberapa tokoh ulama di Saudi
menggunakan sains ta’wili untuk menganggap kafir ilmuwan yang tidak
percaya pada “teori Geosentris ala Islam”.
Contoh lain sains ta’wili banyak ditemui di dunia kesehatan. Ketika
ada hadits shahih “Habatussaudah itu obat segala penyakit selain maut”,
maka pendukung sains ta’wili dengan serta merta yakin bahwa
habatussaudah itu dapat mengobati penyakit yang sekarang belum ketemu
obatnya, seperti HIV/AIDS, dan ketika penderita tersebut akhirnya mati
juga (karena tidak sembuh), mereka berkilah, “ya itu karena maut memang
tidak bisa diobati”. Kalau seperti ini halnya, tentunya penyakit apapun
bisa diklaim begitu saja. Yang jelas, perjalanan sejarah ilmuwan
kedokteran salaf justru tidak seperti itu. Ibnu Sina, Abu Qasim
az-Zahrawi atau Ibnu an-Nafs tidak berhenti dengan obat segala penyakit
seperti habatussaudah. Mereka mengembangkan banyak hal, sampai ke
pembedahan dsb, untuk menemukan metode pengobatan yang paling efektif,
dan tidak membiarkan maut menjemput pasien, kecuali seluruh ikhtiar yang
ilmiah sudah dikerjakan.
5. SAINS SEKULER
Sains sekuler adalah sains yang mendominasi dunia saat ini, ketika
sains sama sekali menolak untuk menerima keberadaan Tuhan. Akibatnya,
Tuhan tidak boleh dibawa-bawa ketika menggeluti sains, dalam bentuk
apapun, baik itu sekedar sebagai inspirator, pagar yang mengatur metode
ilmiahnya, hingga aplikasi penemuannya. Ilmuwan yang masih melibatkan
Tuhan dalam kajian ilmiahnya dianggap sebagai saintis yang tidak
serius. Tuhan biarlah berada di tempat terhomat, yang tidak diganggu
oleh rumus dan falsifikasi. Tuhan biarlah tetap di ujung lorong sana di
tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi sains. Yang menyedihkan,
sains sekuler ini diajarkan pada anak-anak kita di semua mata pelajaran,
termasuk di pelajaran agama, dan termasuk di sekolah-sekolah Islam.
Sebagian orang mengalami kesulitan membedakan paradigma-1 (SAINS
ISLAM) dengan paradigma-5 (SAINS SEKULER). Sebagian penganut paradigma-4
(SAINS TA’WILI) bahkan menuduh praktisi paradigma-1 telah terjebak
dalam sekulerisme, karena dianggap menolak dalil wahyu yang pasti benar,
padahal yang disangka dalil itu masih mutasyabihat. SAINS ISLAM sangat
berbeda dengan SAINS SEKULER di tiga hal, yaitu (1) inspirasi/motivasi
mengembangkan sains, (2) metode mengembangkan sains, (3) pembatasan
dalam aplikasi sains, yaitu teknologi/inovasi. Hasilnya: SAINS ISLAM
akan jauh lebih berkah, karena didorong oleh semangat mensyukuri
kebesaran Allah dan semangat menjadikan umat Islam umat terbaik bagi
manusia, bukan semangat exploitasi manusia atas manusia lain;
dikembangkan dengan mematuhi hukum syara’, bukan mengabaikannya; dan
diterapkan untuk merahmati seluruh alam, bukan untuk menjajah.
+ comments + 1 comments
bosan tidak tahu mesti mengerjakan apa ^^
daripada begong saja, ayo segera bergabung dengan kami di
F*A*N*S*P*O*K*E*R cara bermainnya gampang kok hanya dengan minimal deposit 10.000
ayo tunggu apa lagi buruan daftar di agen kami ^^
Post a Comment